Selasa, 13 September 2011

kriptorkismus

                                                    

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

II.1. Organ Testikularis

            Testis terdiri dari 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing mempunyai panjang rata-rata lebih dari lima meter, dan merupakan tempat pembentukan sperma. Sperma kemudian di alirkan ke dalam epididimis, suatu tubulus lain yang juga berbentuk lilitan dengan panjang sekitar enam meter. Epididimis mengarah ke dalam vas deferens, yang membesar ke dalam ampula vas deferens tepat sebelum vas deferens memasuki korpus kelenjar prostat.
            Berdasarkan strukturnya dapat di klasifikasikan secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis struktur testis tersusun dari lapisan tunika albuginea  membentuk capsula yang fibrous, tubuli seminiferi, rete testis, ductuli efferentes, epididymis yang terbagi atas(caput, corpus, dan cauda).  Sedangkan secara mikroskopis tersusun atas tubuli seminiferi (spermatogonia, sel sertoli, jaringan ikat, sel leydig), ductuli eferentes (epitel silindris bersilia), epididimis (epitel silindris pseudostratified).
            Organ testis di perdarahi oleh ateria dan vena testikularis serta aliran getah bening yang mengikuti arteri testikularis menuju ke lymfonodi para-aortikus. 

                       
 Persarafannya sendiri di persarafi oleh simpatetik dari pleksus renalis dan aortikus, parasimpatis dari pleksus hypogastrikus inferior yang bersifat vasodilator.
Vas deferens mulai dari cauda epididymis menuju ke atas pada sisi medial testis. Melalui canalis inguinalis di dalam funiculus spermatikus, saluran ini masuk ke dalam pelvis melewati annulus inguinalis profundus dan selanjutnya menyilang vasa iliaca eksterna, vasa obturatoria dan ureter sebelum mencapai vesikula seminalis.
            Dari permukaan dalam capsula terbentang banyak septa fibrosa yang membagi bagian dalam organ menjadi lobuli testis. Di dalam setiap lobulus terdapat satu sampai tiga tubuli seminiferi yang berkelok-kelok. Tubuli seminiferi bermuara ke dalam jalinan saluran yang dinamakan rete testis. Ductuli efferentes yang kecil menghubungkan rete testis dengan ujung atas epididymis.



II.1.1. Struktur Anatomi

II.1.1.A. Testis

Testis merupakan sepasang struktur organ yang berbentuk oval dengan ukuran 4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20g. Terletak didalam scrotum dengan axis panjang pada sumbu vertikal dan biasanya testis kiri terletak lebih rendah dibanding kanan. Testis diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3 anterior kecuali pada sisi dorsal dimana terdapat epididymis dan pedikel vaskuler. Sedangkan epididymis merupakan organ yang berbentuk kurva yang terletak disekeliling bagian dorsal dari testis. Suplai darah arteri pada testis dan epididymis berasal dari arteri renalis.
Testis merupakan organ kuat mudah bergerak, dan terletak di dalam scrotum. Testis sinistra biasanya terletak lebih rendah di bandingkan testis dextra. Extrimitas superior kelenjar sedikit miring ke depan. Masing-masing testis dikelilingi oleh capsula fibrosa yang kuat, tunica albuginea.
            Testis mendapat pasokan darah dari arteria testicularis yang merupakan cabang aorta abdominalis. Vena testikularis keluar dari testis dan epididymis sebagai jalinan vena, plexus pampiniformis. Jalinan ini menjadi kecil  dan akhirnya membentuk sebuah vena yang berjalan ke atas melalui canalis inguinalis. Vena testikularis dextra mengalirkan darahnya ke vena cava inferior, dan vena testicularis sinistra bermuara ke vena renalis sinistra.
            Pembuluh-pembuluh limf berjalan  ke atas di dalam funiculus spermaticus dan berakhir di nodo lymphonodi di samping aorta setinggi vertebra lumbalis 1. Aliran seperti ini diperkirakan karena selama perkembangannya,testis bermigrasi dari bagian atas dinding posterior abdomen, turun melalui kanalis inguinalis, dan masuk ke dalam scrotum, menarik suplai darah dan pembuluh limf mengikutinya.

II.1.1.B. Ductus Deferens

            Vas deferens merupakan saluran yang di mulai dari cauda epididymis menuju ke atas pada sis medial testis yang membesar ke dalam ampula vas deferens tepat sebelum vas deferens memauki korpus kelenjar prostat.
            Struktur secara mikroskopis tersusun dari epitel silindris tanpa silia, dinding muskularis tebal.
            Ductus deferens di perdarahi oleh arteria ductus deferens, yang merupakan cabang dari arteri vesicalis inferior dan beranastomosis dengan arteria yang ke epididymis, yang berasal dari cabang arteri testicularis. Sedangkan pembuluh darah vena yang memperdarahinya menuju ke vena vesicalis inferior dan pembuluh getah bening yang menuju ke lymfonodi iliaka interna. Persarafannya oleh serabut otonom dari pleksus pelvikus.

II.1.1.B. Epididymis
Merupakan struktur kuat yang terletak posterior terhadap testis, dengan ductus deferens pada sisi medialnya. Epididimis mempunyai ujung atas yang melebar, caput, corpus, dan cauda yang arahnya ke inferior. Di lateral, terdapat alur nyata antara testis dan epididymis, yang di batasi oleh lapisan visceral tunika vaginalis dan dinamakan sinus epididymis.
Epididymis merupakan saluran yang sangat berkelok-kelok yang panjang hamper 6 m dan tertanam di dalam jaringan ikat. Saluran ini berasal dari cauda epididymis sebagai duktus deferens dan masuk ke dalam funikulus spermatikus.
Saluran yang panjang ini merupakan tempat penyimpanan spermatozoa untuk menjadi matang. Salah satu fungsi utama epididymis adalah mengabsorbsi cairan. Fungsi lainnya adalah menambakan zat pada cairan semen untuk memberikan makanan pada spermatozoa yang sedang mengalami proses pematangan.
Epididymis di perdarahi oleh arteri testikularis, sebuah cabang aorta abdominalis. Vena testikularis keluar dari testis dan epididymis sebagai jalinan vena, pleksus pampiniformis. Jalinan ini menjadi kecil dan akhirnya membentuk sebuah vena yang berjalan ke atas melalui kanalis inguinalis.

 

II.1.1.C. Funikulus Spermatikus

             Funikulus spermatikus terdiri dari struktur-struktur yan ikut terbawa melalui kanalis, sewaktu testis berdesensus menuju ke skrotum. Funikulus spermatikus terdiri dari duktus deferens, arteri testikularis, ateri kremasterika, arteri deferentialis,  vena testikularis, saluran getah bening, ramus genitalis dari nervus genitofemoralis, dan serabut-serabut otonom dari pleksus testikularis. Funikulus spermatikus di selubungi oleh fascia spermatika eksterna yang berasal dari M. obliquus abdominis eksternus, fascia kremasterika yang berasal dari M. obliquus abdominis internus, dan fascia spermatika interna yang berasal dari fascia tranversa abdominis.

 

II.1.1.D. Skrotum

            Skrotum merupakan suatu kantong kulit yang berisi testis, dipisahkan melalui suatu septum sagital. Strukturnya terdiri dari kulit, lapisan muskulus dartos, fascia spermatika eksterna, fascia kremasterika, fascia spermatika interna, dan tunika vaginalis.
            Dinding skrotum mempunyai lapisan yang terdiri dari kutis, fascia superfisialis, muskulus dartos menggantikan pannikulus adiposus, fascia spermatika eksterna yang berasal dari muskulus obliquus eksternus abdominis, dan fascia cremasterika yang berasal dari muskulus obliquus internus, fascia spermatika interna yang berasal dari fascia tranversalis, dan tunika vaginalis.
            Kutis skrotum tipis, berkerut, berpigmen, dan membentuk suatu kantong tunggal. Sedikit peninggian di garis tengah menunjukan garis persatuan kedua pembengkakan labioskrotalis.
            Fascia superfisialis melanjutkan diri sebagai pannikulus adiposus dan stratum membranosum dinding anterior abdomen, akan tetapi pannikulus adiposus diganti oleh otot polos yang dinamakan muskulus dartos. Otot ini dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan berfungsi untuk pengerutan kulit di atasnya. Stratum membranosum fascia superfisialis di depan melanjutkan diri sebagai stratum membranosum dinding anterior abdomen, dan di belakang melekat pada korpus perineai. Di samping fascia superfisialis melekat pada rami iskiopubici. Kedua lapisan fascia superfisialisberperan membentuk sekat median yang menyilang skrotum dan memisahkan testis satu dengan yang lain.
            Fascia spermatika terletak di bawah fascia superfisialis dan berasal dari tiga lapisan dinding anterior abdomen pada masing-masing sisi. Fascia spermatika eksterna berasal dari aponeurosis muskulus obliquus abdominis eksternus, fascia cremasterika berasal dari muskulus obliquus abdominis internus, dan fascia spermatika interna berasal dari fascia tranversalis. Muskulus kremaster dipersarafi oleh ramus genitalis nervus genitofemoralis.
            Muskulus kremaster dapat dibuat kontraksi dengan menggores kulit sisi medial paha. Serabut-serabut aferen  lengkung reflex ini berjalan pada ramus femoralis nervus genitofemoralis dan serabut-serabut motorik eferen berjalan pada ramus genitalis nervus genitofemoralis. Fungsi muskulus kremaster adalah mengangkat testis dan skrotum ke atas untuk menghangatkan dan melindungi testis dari cedera.dan fascia, termasuk tunika vaginalis dialirkan ke nodi lymfoidei inguinalis superfisialis.
            Tunika vaginalis terletak di dalam fascia spermatika dan meliputi permukaan anterior, media, dan lateralis masing-masing testis. Tunika vaginalis merupakan bagian bawah prosesus vaginalis, dan biasanya sesaat sebelum lahir menutup dan memisahkan diri dari bagian atas prosesus vaginalis dan kavitas perotonealis. Dengan demikian tunika vaginalis merupakan kantong tertutup, diinvaginasi dari belakang oleh testis.
            Cairan limf dari kulit dan fascia, termasuk tunika vaginalis di alirkan ke nodi limfoidei inguinalis superfisialis.     
            Skrotum di perdarahi oleh cabang-cabang arteri pudenda eksterna dari arteri femoralis, cabang-cabang skrotalis dari arteri pudenda interna, dan cabang kremasterika dari arteri epigastrika inferior dan pembuluh vena serta getah bening yang mengikutinya menuju ke limfonodi inguinalis. Skrotum di persarafi oleh nervus ilioinguinalis, ramus genitalis nervus genitofemoralis, rami skrotalis posterior dari nervus perinealis, serta ramus perinealis dari nervus kutaneus femoralis posterior.

 

II.1.2. Embriologi

            Baik mudigah pria ataupun wanita pada mulanya mempunyai dua pasang saluran kelamin yaitu saluran mesonefros dan para mesonefros. Diferensiasi saluran mesonefros membentuk vas deferens-epididymis serta alat kelamin luar yang di stimulasi oleh androgen. Sedangkan saluran paramesonefros dihambat oleh hormone mullerian inhibiting substance.
            Ketika mesonefros mengalami kemunduran, sejumlah kecil saluran ekskresi yaitu saluran epigenital, membuat hubungan dengan tali-tali rete testis dan akhirnya membentuk duktuli eferentes testis. Saluran ekskresi di sepanjang kutub kaudal tesis, yaitu saluran paragenital, tidak bersatu dengan tali-tali rete testis. Saluran-saluran ini seluruhnya dikenal sebagai paradidymis.
            Saluran mesonefros tetap dipertahankan dan membentuk saluran utama. Tepat di bawah tempat masuk duktuli eferentes saluran ini sangatlah memanjang dan sangat berkelok-kelok, dengan demikian membentuk epididymis. Dari ekor epididymis hingga ke tempat penonjolan vesikula seminalis. Saluran mesonefros memperoleh lapisan otot pembungkus yang dikenal sebagai duktus deferens. Di luar vesikula seminalis saluran mesonefros dikenal sebagai duktus ejakulatorius.
            Saluran paramesonefros pada pria mengalami degenerasi, kecuali pada bagian kecil ujung cranial, yaitu appendix testis.

 

II.1.3. Fisiologi

              Menjelang akhir bulan kedua testis dan mesonefros dilekatkan pada dinding belakang perut melalui mesenterium urogenital. Dengan terjadinya degenerasi mesonefros pita pelekat tersebut terutama berperan sebagai mesenterium testis.ke arah kaudal mesenterium ini menjadi ligamentum dan di kenal sebagai ligamentum genitale caudale.
Di dalam daerah inguinal, ligamentum genitale caudale bersambungan dengan sebuah pita mesenkim, yang selanjutnya bersambungan kedalam suatu pemadatan mesenkim di dalam tonjolan kelamin(scrotum). Bersama sama ketiga unsur tadi di sebut gibernaculum testis
Sebagai akibat pertumbuhan tubuh yang cepat dan kegagalan gibernaculum testis untuk memanjang sesuai pertumbuhan tubuh ini, testis turun di bawah tingkat asalnya. Menjelang bulan ketiga,testis terletak dekat daerah inguinal.
Oleh karena itu gerak turun testis bukan merupakan suatu migrasi aktif, tetapi suatu pergeseran letak relatif terhadap dinding tubuh. Hantaran darah
dari aorta tetap di pertahankan dan pembuluh pembuluh testikularis berjalan turun dari tingkat lumbal asalnya ke daerah inguinal.
Terlepas dari gerak turun testis, peritonium rongga selom membentuk suatu penonjolan di sisi kiri dan kanan garis tengah ke dalam dinding ventral perut. Penonjolan ini mengikuti perjalanan gubernakulum testis ke dalam tonjolan dinding scrotum dan di kenal sebagai processus vaginalis. Oleh karena itu prosessus vaginalis disertai lapisan otot dan jaringan ikat dinding perut menonjol ke dalam tonjolan skrotum, sehingga membentuk kanalis inguinalis. Gubernakulum testis tetap di ventral dan di luar processus vaginalis untuk selamanya.
Testis bergerak turun melalui anulus inguinalis dan melintasi tepi atas tulang kemaluan ke dalam tonjolan scrotum waktu lahir. Testis kemudian di lapisi oleh selapis lipatan processus vaginalis. Lapisan peritonium yang meliputi testis di kenal sebagai tunica vaginalis testis lamina visceralis, bagian kantong peritonium membentuk lamina parietalis. Saluran sempit yang menghubungkan rongga processus dengan rongga peritonium, menutup pada saat lahir atau segera sesudah lahir. Gerak turun terakhir testis di sertai dengan suatu perpendekan suatu gubernaculum dan dipengaruhi juga oleh hormon seperti gondotropin dan androgen. Kegagalan dari semua proses di atas dapat menyebabkan suatu keadaan yang di kenal sebagai kriptorkismus.
Testis merupakan bagian alat genital pria yang di dalamnya terdapat beberapa struktur vital yang berperan dalam proses spermatogenesis selama kehidupan seksual aktif, sebagai akibat dari rangsangan oleh gonadotropin hipofisis anterior, yang dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup.
Beberapa organ  itu di antaranya terdapat tubulus seminiferus yang terdiri atas sejumlah besar sel epitel germinal yang disebut spermatogonia, terletak, terletak dalam dua sampai tiga lapisan sepanjang  batas luar epitel tubulus. Spermatogonia terus menerus berproliferasi untuk memperbanyak diri, dan sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk membentuk sperma.
Spermatogenesis terjadi didalam testis melalui beberapa tahapan. Pada tahap pertama dari spermatogenesis, spermatogonia primitive berkumpul tepat di tepi membrane basal dari epitel germinativum,disebut spermatogonia tipe A, membelah empat kali untuk membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu spermatogonia tipe B.
Pada tahap ini, spermatogonia bermigrasi kearah sentral di antarai  sel-sel sertoli. Sel-sel sertoli ini sangat besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang meluas dari lapisan sel spermatogonia sampai ke bagian tengah lumen dari lumen tubulus. Membrane sel-sel sertoli sangat kuat berlekatan satu sama lain pada bagian dasar dan bagian sisi, membentuk suatu lapisan pertahanan yang mencegah penetrasi dari kapiler-kapiler yang mengelilingi tubulus dari molekul-molekul protein yang besar seperti immunoglobulin yang mungkin mengganggu perkembangan lanjut dari spermatoginia menjadi spermatozoa. Namun spermatogonia yang sudah di persiapkan untuk menjadi spermatozoa menembus lapisan pertahanan ini dan menjadi terbungkus di dalam prosesus-prosesus sitoplasma dari sel-sel sertoli yang berlipat ke dalam. Hubungan yang erat dengan sel sertoli ini terus berlanjut di seluruh sisa perkembangan spermatozoa.

 

II.2.Kriptorkismus

II.2.1.Definisi

Kriptorkismus adalah suatu keadaan di mana setelah usia satu sampai dua tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantong skrotum, tetapi berada di tempat sepanjang jalur desensus testis yang normal.
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang dalam bahasa latin disebut testis. Nama lain dari kriptorkismus adalah undescended testis(UDT), testis ektopik ataupun pseudo kriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.

 

II.2.2. Epidemiologi

            Besar insidensi undesensus testikulorum berbeda pada tiap-tiap umur. Bayi baru lahir (3 – 6%), satu bulan (1,8%), 3 bulan (1,5%), Satu tahun (0,5 – 0,8%). Bayi lahir cukup bulan 3% diantaranya kriptorkismus, sedangkan yang lahir kurang bulan sekitar 33% .
 Pada berat badan bayi lahir (BBL) dibawah 2000 gram insidensi UDT 7,7% BBL 2000-2500 (2,5%), dan BBL diatas 2500 (1,41%) Insidensi kriptorkismus unilateral lebih tinggi dibanding kriptorkismus bilateral. Sedang insidensi sisi kiri lebih besar (kiri 52,1% vs kanan 47,9%).
Dari suatu penelitian didapatkan prevalensi di dunia dari 4,3% - 4,9% pada saat lahir, 1% - 1,5% pada umur 3 bulan, dan 0,8% - 2,5% pada umur 9 bulan. Sedangkan di AS, prevalensi kriptorkismus sekitar 3,7% saat lahir dan 1,1% dari umur 1 tahun sampai dewasa,  di Inggris  insidensinya meningkat lebih dari 50% pada kurun waktu 1965 – 1985. di FKUI – RSUPCM kurun waktu 1987 – 1993 terdapat 82 anak kriptorkismus, sedang di FKUSU – RSUP. Adam Malik Medan kurun waktu 1994 – 1999 terdapat 15 kasus.

 

II.2.3 Etiologi

Penyebab pasti kriptorkismus belum jelas. Dari hasil penelitian para ahli, menyatakan bahwa ada beberapa penyebab dari kriptorkismus di antarnya:

A. Abnormalitas gubernakulum testis

Penurunan testis dipandu oleh gubernakulum. Massa gubernakulum yang besar akan mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi pada skrotum akan menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika tesis telah berada di kantong skrotum gubernakulum akan diresorbsi (Backhouse, 1966) Bila struktur ini tidak terbentuk atau terbentuk abnormal akan menyebabkan maldesensus testis.

B. Defek intrinsik testis

Maldesensus dapat disebabkan disgenesis gonadal dimana kelainan ini membuat testis tidak sensitif terhadap hormon gonadotropin. Teori ini merupakan penjelasan terbaik pada kasus kriptorkismus unilateral. Juga untuk menerangkan mengapa pada pasien dengan kriptorkismus bilateral menjadi steril ketika diberikan terapi definitif pada umur yang optimum. Banyak kasus kriptorkismus yang secara histologis normal saat lahir, tetapi testisnya menjadi atrofi / disgenesis pada akhir usia 1 tahun dan jumlah sel germinalnya sangat berkurang pada akhir usia 2 tahun.

C.Defisiensi stimulasi hormonal / endokrin

Hormon gonadotropin maternal yang inadequat menyebabkan desensus inkomplet. Hal ini memperjelas kasus kriptorkismus bilateral pada bayi prematur ketika perkembangan gonadotropin maternal tetap dalam kadar rendah sampai 2 minggu terakhir kehamilan. Tetapi teori ini sulit diterapkan pada kriptorkismus unilateral.  Tingginya kriptorkismus pada prematur diduga terjadi karena tidak adequatnya HCG menstimulasi pelepasan testosteron masa fetus akibat dari imaturnya sel Leydig dan imaturnya aksis hipothalamus-hipofisis-testis. Dilaporkan suatu percobaan menunjukkan desensus testis tidak terjadi pada mamalia yang hipofisenya telah diangkat .
Rasfer et al (1986) memperlihatkan penurunan testis dimediasi oleh androgen yang diatur lebih tinggi oleh gonadotropin pituitary. Proses ini memicu kadar dihidrotestotsteron yang cukup tinggi, dengan hasil testis mempunyai akses yang bebas ke skrotum. Toppari & Kaleva menyebut defek dari aksis hipotalamus-pituitary-gonadal akan mempengaruhi turunnya testis. Hormon utama yang mengatur testis adalah LH dan FSH yang doproduksi oleh sel basofilik di pituitary anterior yang diatur oleh LHRH. FSH akan mempengaruhi mempengaruhi sel sertoli, epitel tubulus seminiferus. Kadar FSH naik pada kelainan testis
Kriptorkismus yang disertai defisiensi gonadotropin dan adrenal hipoplasia kongenital mungkin berhubungan dengan sifat herediter. Corbus dan O’Connor, Perreh dan O’Rourke melaporkan beberapa generasi kriptorkismus dalam satu keluarga. Juga ada penelitian yang menunjukkan tidak aktifnya hormon Insulin Like Factor 3 ( Insl3) sangat mempengaruhi desensus testis . Insl3 diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi gubernakulum. Faktor lain yang diduga berperan ialah berkurangnya stimulating substances yang diproduksi oleh nervus genitofemoralis

II.2.4. Faktor  Resiko
Karena penyebab pasti kriptorkismus tidak jelas, maka kita hanya dapat mendeteksi faktor resikonya. Antara lain :
1.      BBLR (kurang 2500 mg)
2.      Ibu yang terpapar estrogen selama trimester pertama
3.      Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)
4.      Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37 minggu)
5.      Berat janin yang dibawah umur kehamilan.
6.      Mempunyai ayah atau saudara dengan riwayat UDT

 

II.2.5. Patogenesis

II.2.5.A. Embriologi

            Pada minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Sel- Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.
            Ketika mesonepros mengalami degenerasi, suatu ligamen yang disebut gubernakulum akan turun pada masing-masing sisi abdomen dari pole bawah gonal melintas oblik pada dinding abdomen (yang kelak menjadi kanalis inguinalis) dan melekat pada labioscrotal swelling ( yang kelak menjadi skrotum atau labia majora). Kemudian kantong peritoneum yang disebut processus vaginalis berkembang pada masing-masing sisi ventral gubernakulum dan mengalami herniasi melalui dinding abdomen bawah sepanjang jalur yang dibentuk oleh gubernakulum. Masing-masing processua vaginalis  membawa perluasan dari lapisan pembentuk dinding abdomen, bersama-sama membentuk funikulus spermatikus. Lubang yang ditembus oleh processus vaginalis pada fascia transversalis menjadi anulus inguinalis internus, sedang lubang pada aponeurosis m. obliquus abdominis externus membentuk anulus inguinalis eksternus.
Sekitar minggu ke-28 intrauterine, testis turun dari dinding posterior abdomen menuju anulus inguinalis internus. Perubahan ini terjadi akibat pembesaran ukuran pelvis dan pemanjangan ukuran tubuh, karena gubernakulum  tumbuh tidak sesuai proporsinya, mengakibatkan testis berubah posisi, jadi penurunannya adalah proporsi relatif terhadap pertumbuhan dinding abdomen. Peranan gubernakulum pada awalnya adalah membentuk jalan untuk processus vaginalis selama pembentukan kanalis inguinalis, kemudian gubernakulum juga sebagai jangkar/ pengikat testis ke skrotum. Massa gubernakulum yang besar akan mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi pada skrotum akan menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika tesis telah berada di kantong skrotum gubernakulum akan diresorbbsi (Backhouse, 1966) Umumnya dipercaya bahwa gubenakulum tidak menarik testis ke skrotum. Perjalanan testis melalui kanalis inguinalis dibantu oleh peningkatan tekanan intra abdomen akibat dari pertumbuhan viscera abdomen.
Mekanisme yang berperan dalam proses turunnya testis belum sepenuhnya dimengerti, dibuktikan untuk turunnya testis ke skrotum memerlukan aksi androgen yang memerlukan aksis hipotolamus-hipofise-testis yang normal. Mekanisme aksi androgen untuk merangsang turunnya testis tidak diketahui, tetapi diduga organ sasaran androgen kemungkinan gubernakulum, suatu pita fibromuskuler yang membentang dari pole bawah testis ke bagian bawah dinding skrotum yang pada minggu-minggu terakhir intrauterin akan berkontraksi dan menarik testis ke skrotum. Posisi testis saat turun berada di posterior processus vaginalis (retroperitoneal) sekitar 4 minggu kemudian (umur 32 minggu) testis masuk skrotum. Ketika turun, testis membawa serta duktus deferens dan vasanya sehingga ketika testis turun, mereka terbungkus oleh perluasan dinding abdomen. Perluasan fascia transversalis membentuk fascia spermatica interna, m. obliqus abdominal membentuk fascia kremaster dan musculus kremaster dan apponeurosis m. obliqus abdomenus eksternal membentuk fascia spermatica externus di dalam skrotum. Masuknya testis di skrotum di ikuti dengan kontraksi kanalis inguinalis yang menyelubungi funikulus spermatikus. Selama periode perinatal processus vaginalis mengalami obliterasi, mengisolasi suatu tunica vaginalis yang membentuk suatu kantong yang menutupi testis.
Pada umumnya testis turun  pada skrotum secara sempurna pada akhir tahun pertama. Kegagalan testis turun tetapi masih pada jalur normalnya disebut UDT(undescensus testiculorum). Testis dapat berada sepanjang jalur penurunan, kadang setelah melewati kanalis inguinalis testis menyimpang dari jalur yang seharusnya, dan menempati lokasi abnormal. Hal ini disebut testis ektopik. Testis bisa terletak di interstitial (superfisial dari m. obliquus abdominis externus) di paha sisi medial, dorsal penis atau kontralateralnya. Diduga disebabkan oleh bagian gubernakulum yang melewati lokasi abnormal, dan testis kemudian mengikutinya.
Pendapat lain menyatakan bahwa penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda..
 Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior.  Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.

 

II.2.5.B. Perubahan PA

Penelitian biopsi testis kriptorkismus menunjukkan bukti yang mengagetkan dimana epitel germinativum dalam testis tetap dalam ukuran normal untuk dua tahun pertama kehidupan. Sementara umur empat tahun terdapat penurunan spermatogonia sekitar 75 % sehingga menjadi subfertil / infertile
Setelah umur enam tahun tampak perubahan nyata. Diameter tubulus seminiferus mengecil, jumlah spermatogonia menurun, dan tampak nyata fibrosis di antara tubulus testis. Pada kriptorkismus pascapubertas mungkin testis berukuran normal, tetapi ada defisiensi yang nyata pada komponen spermatogenik sehingga pasien menjadi infertil . Untungnya sel leydig tidak dipengaruhi oleh suhu tubuh dan biasanya ditemukan dalam jumlah normal pada kriptorkismus. Sehingga impotensi karena faktor endokrin jarang terjadi pada kriptorkismus  Penelitian dengan biopsi jaringan testis yang mengalami kriptorkismus menunjukkan tidak terjadi abnormalitas kromosom. Maldescensus dan degenerasi maligna tidak dapat disebabkan karena defek genetik pada testis yang mengalami undescensus testis.

 

II.2.6. Klasifikasi

Kriptorkismus dapat diklasifikasi berdasarkan etiopatogenesis dan lokasi.
Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis:
  1. Mekanik/anatomik (perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis, dan lain-lain)
  2. Endokrin/hormonal (kelainan aksis hipotalamus-hipofise-testis)
  3. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
  4. Herediter/genetik
Klasifikasi berdasarkan lokasi:
  1. Skrotal tinggi (supra skrotal) : 40%
  2. Intra kanalikular (inguinal) : 20%
  3. Intra abdominal (abdominal) : 10%
  4. Terobstruksi : 30%
Gambar : Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis. (Dikutip dari : Gill B, Kogan S. Cryptorchidism – Current Concept. Pediatr Clin North Am 1997; 44 (5): 1211-27)

Major, 1974  membagi kriptorkismus (dalam pengertian umum) membagi menjadi:
1.Retensio Testis (dystopy of testicle) à Diklasifikasikan sesuai tempatnya
a. Abdominal testicle (retensi abdominal)
Canalicular testicle ( retensio canalicularis superior et inferior ): testis benar-benar tak teraba
b.Inguinal testicle ( retensio inguinalis) : testis teraba di depan anulus inguinalis eksternus
c.Testis reflexus (superfisial inguinal ectopy): bentuk paling umum. Testis sebenarnya tidak melenceng dari alur normal. Gubernakulum memandu testis menuju bagian bawah skrotum. Testis hanya bertempat di anterior aponeurosis muskulus obliquus abdominis eksternus dan sesungguhnya ini bukan suatu testis ektopik

2. The True Ectopic Testis
Di sini testis melewati canalis inguinalis tetapi kemudian menempati daerah perineum, suprapubic dorsal pangkal penis, bawah kulit pangkal femur sisi medial.

3. The Floating Testicle
Pada anak-anak kontraksi muskulus kremaster dapat mengangkat testis dari posisis normal menuju kanalis inguinalis. Refleks ini dipicu oleh rangsang dingin atau sentuhan. Jangan keliru menganggap posisi ini dengan retensi testis. Tipe ini dibagi menjadi :
a. The Slidding Testicle ( Uper retractile type)
Testis dapat teraba dengan baik dari mid skrotum ke atas sampai di depan aponeurosis muskulus obliquus abdominis eksternus di atas anulus inguinalis eksternus.
b. The Pendulant testicle (Lower Retractile Type)
Testis bergerak bolak-balik antar bagian terbawah skrotum dan anulus inguinalis eksternus.

II.2.6. Diagnosa

II.2.6.A. Anamnesis

            Diagnosis UDT dapat dibuat oleh orangtua anak atau dokter pemeriksa pertama. Umumnya diawali orangtua membawa anak ke dokter dengan keluhan skrotum anaknya kecil. Dan bila disertai dengan hernia inguinalis akan dijumpai pembengkakan atau nyeri berulang pada skrotum. 
Anamnesis ditanyakan :
1.      Pernahkah testis diperiksa, diraba sebelumnya di skrotum.
2.      Ada tidaknya kelainan kongenital yang lain, seperti hipospadia, interseks,       prunne belly syndroma, dan kelainan endokrin lain
3.      Ada tidaknya riwayat UDT dalam keluarga
Tanda kardinal UDT ialah tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum. Pasien dapat mengeluh nyeri testis karena trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis pubis. Pada dewasa keluhan UDT sering dihubungkan dengan infertilitas.

II.2.6.B. Gejala Klinis
            Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang disebabkan testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi tumor testis.

II.2.6.C. Pemeriksaan fisik
  1. Penentuan lokasi testis
Beberapa posisi anak saat diperiksa : supine, squatting, sitting . Pemeriksaan testis harus dilakukan dengan tangan hangat. Pada posisi duduk dengan tungkai dilipat atau keadaan relaks pada posisi tidur. Kemudian testis diraba dari inguinal ke arah skrotum dengan cara milking. Bisa juga dengan satu tangan di skrotum sedangkan tangan yang lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaka anterior superior  menyusuri inguinal sampai kantong skrotum. Hal ini mencegah testis retraksi karena pada anak refleks muskulus kremaster cukup aktif yang menyebabkan testis bergerak ke atas / retraktil sehingga menyulitkan penilaian.
Penentuan posisi anatomis testis sangat penting sebelum terapi karena berhubungan dengan keberhasilan terapi. Testis retraksi tidak perlu terapi. Testis yang retraktil sudah turun saat lahir, tetapi pada pemeriksaan tidak ditemukan di dalam skrotum kecuali anak relaks.
2. Penentuan apakah testis palpabel
a.Testis teraba
Bila testis palpable beberapa kemungkinan antara lain :
(1)   testis retraktil 
(2)   UDT 
(3)   Testis ektopik 
      (4). Ascending Testis Syndroma .  
Ascending Testis Syndroma ialah testis dalam skrotum /retraktil, tetapi menjadi lebih tinggi karena pendeknya funikulus spermatikus. Biasanya baru diketahui pada usia 8 -10 tahun. Bila testis teraba maka tentukan posisi, ukuran, dan konsistensi. Bandingkan dengan testis kontralateralnya.
b.Bila impalpable testis
Kemungkinannya ialah :
(1)   intrakanalikuler
(2)   intraabdominal, 
(3)   Atrofi testis
(4)   Agenesis.
Kadang di dalam skrotum terasa massa seperti testis atrofi. Jaringan ini biasanya gubernakulum atau epididimis dan vas deferens yang bisa bersamaan dengan testis intraabdominal.  Impalpable testis biasanya disertai hernia inguinal. Pada bilateral impalpable testis sering berkaitan dengan anomali lain seperti interseksual, prone belly syndrome.

II.2.6.D. Pemeriksaan Penunjang
A.USG
            Dilakukan bila testis impalpable dan merupakan modalitas pertama dalam menegakkan diagnosis dari kriptorkismus.
Beberapa alasan digunakan USG sebagai alat diagnose tambahan ialah:
(1)   Sekitar 72% kriptorkismus terletak intrakanalikuler sehingga aksesibilitas USG cukup baik
(2)   Non invasif
(3)   Mudah didapat
(4)   Praktis/mudah dijadwalkan
(5)   Murah
Pada USG testis prepubertas mempunyai gambaran ekhogenitas derajat ringan sampai sedang, dan testis dewasa ekhogenitas derajat sedang.
USG hanya efektif untuk mendeteksi testis di kanalis inguinalis ke superfisial, dan tidak dapat mendeteksi testis di intraabdominal. Di luar negeri keberhasilannya cukup tinggi (60-65%), sementara FKUI hanya 5,9%. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman operator.
B. CT-Scan
      Merupakan modalitas kedua setelah USG. CT Scan dapat mendeteksi testis intraabdominal. Akurasi CT Scan sama baiknya dengan USG pada testis letak inguinal, sedangkan testis letak intraabdominal CT Scan lebih unggul ( CT Scan 96% vs USG 91%). False positif / negatif biasanya akibat pembesaran limfonodi, dapat dibedakan dengan testis karena adanya lemak di sekeliling limfonodi.
C. MRI
            Dapat mendeteksi degenerasi maligna pada kriptorkismus. Kelemahannya loop usus dan limfonodi dapat menyerupai kriptorkismus.
D. Angiografi
            Akurat tetapi invasif sehingga tidak disukai. Venografi Gadolium dengan MRI lebih akurat dibanding MRI tunggal.

II.2.6.E. Penatalaksanaan
            Tujuan dari penanganan kriptorkismus adalah :
  1. Meningkatkan fertilitas
  2. Mencegah torsio testis
  3. Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubik
  4. Mengkoreksi kelainan lain yang menyertai, seperti hernia
  5. Mencegah / deteksi awal dari keganasan testis
  6. Membentuk body image

A.    Terapi non bedah
            Berupa terapi hormonal. Terapi ini dipilih untuk UDT bilateral palpabel inguinal. Tidak diberikan pada UDT unilateral letak tinggi atau intraabdomen. Efek terapi berupa peningkatan rugositas skrotum, ukuran testis, vas deferens, memperbaiki suplay darah, dan diduga meningkatkan ukuran dan panjang vasa funikulus spermatikus, serta menimbulkan efek kontraksi otot polos gubernakulum untuk membantu turunnya testis. Dianjurkan sebelum anak usia 2 tahun, sebaiknya bulan 10 – 24.
1.      hcG
Hormon ini akan merangsang sel Leydig menproduksi testosteron. Dosis : Menurut Mosier (1984) : 1000 – 4000 IU, 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri (1982) : 500 -1500 IU, intramuskuler, 9 kali selang sehari. Ahli lain memberikan 3300 IU, 3 kali selang sehari untuk UDT unilateral dan 500 IU  20 kali dengan  3 kali seminggu. Injeksi HCH tidak boleh diberikan tiap hari untuk mencegah desensitisasi sel Leydig terhadap HCG yang akan menyebabkan steroidogenic refractoriness.
Hindari dosis tinggi karena menyebabkan efek refrakter testis terhadap HCG, udem interstisial testis, gangguan tubulus dan efek toksis testis. Kadar testosteron diperiksa pre dan post unjeksi, bila belum ada respon dapat diulang 6 bulan berikutnya. Kontraindikasi HCG ialah  UDT dengan hernia, pasca operasi hernia, orchydopexy, dan testis ektopik.  Miller (16) memberikan HCG pada pasien sekaligus untuk membedakan antara UDT dan testis retraktil. Hasilnya 20% UDT dapat diturunkan sampai posisi normal, dan 58% retraktil testis dapat normal.
2.      LHRH
Dosis 3 x 400 ug intranasal, selama 4 minggu. Akan menurunkan testis secara komplet sebesar 30 – 64 %.
3.      HCG kombinasi LHRH
Dosis : LHRH 3 x 400 ug, intranasal, empat minggu . Dilanjutkan HCG intramuskuler lima kali pemberian selang sehari. Usia kurang dari dua tahun : 5 x 250 ug,  3 -5 tahun : 5 x 500 ug, di atas lima tahun : 5 x 1000 ug.
Respon terapi : penurunan testis 86,4%, dengan follow up dua tahun kemudian keberhasilannya bertahan 70,6%.
Evaluasi terapi.
Berdasar waktu : akhir injeksi, 1 bulan, 3 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Berdasar posisi : respon komplet bila testis berada di skrotum, sedang respon inkomplet bila testis posisi inguinal rendah  Efek samping bersifat reversibel. Ujud kelainan berupa bertambah ukuran testis, pembesaran penis, ereksi, meningkatnya rugositas skrotum, tumbuhnya rambut pubis hiperpigmentasi dan gangguan emosi
B.     Terapi Bedah
            Tujuan pembedahan adalah memobilisasi testis, adekuatnya suplai vasa spermatika, fiksasi testis yang adequat ke skrotum, dan operasi kelainan  yang menyertainya seperti hernia.
            Indikasi pembedahan  :
1.      Terapi hormonal gagal
2.      Terjadi hernia yang potensial menimbulkan komplikasi
3.      Dicurigai torsio testis
4.      Lokasi intraabdominal atau di atas kanalis inguinalis.
5.      Testis ektopik  
Tekinik operasi pada undesensus testikulorum (UDT) :
1.Orchydopexy Standar
Prinsip dari orchidopexy meliputi tahap  funikulolisis, yaitu pelepasan funikulus spermatikus dari musculus kremester dan memungkinkan dapat memperpanjang ukurannya. Vasa testicularis di bebaskan sejauh mungkin ke retroperitoneal dan dimobilisasi lebih ke medial yang akan meluruskan dan memperpanjang vasa. Terdapat kesulitan ketika memobilisasi vasa diatas vasa iliaca komunis
Beberapa metode yang digunakan untuk menurunkan testis ke skrotum antara lain Ombredonne, Bevas, Torek, Cobot – Nesbit, Longord, Gersung, Denis Browne. George Major menolak metode Mauclain (menurunkan testis ke kontralateral), juga tidak setuju UDT bilateral dikerjakan sekaligus dalam satu tahap oleh karena ancaman infeksi dari kesulitan fiksasi pada septum skrotum
Funikulolisis dikerjakan melalui insisi inguinal tinggi dan testis diturunkan dengan bantuan tarikan tali (benang) transcrotal ke paha  Bila pasien UDT disertai hernia inguinalis, kantung hernia kanan dibebaskan dari ligasi seproximal mungkin, kantong vaginalis propria pada testis dan epidedimis dipertahankan, karena serosa yang membungkus testis itu penting bagi spermatogenesis.
Teknik funikulolisis menurut Beran (1903) memotong vasa testis bila vasa tersebut sangat pendek dan diharapkan vaskularisasi yang adequat dari vasa vas defferens. Tetapi teknik ini kurang bagus dengan alasan maturasi normal memerlukan suplay vaskuler yang optimal. Mekanisme kerjanya adalah:
1.      setelah diseksi aponeurosis m. obliqus abdominis eksternus dan membebaskan anulus inguinal eksternus dengan hati-hati untuk menghindari udema testis
2.      pisahkan (split) dinding  kanalis sesuai arah seratnya sampai dengan anulus inguinalis eksternus
3.      bebaskan funikulus spermatikus dan testis beserta tunikanya dari fascia dan muskulus kremaster
4.      Pada kasus UDT dengan hernia, pemisahan tunika vaginalis funikulus spermatikus secara hati-hati dengan menghindari cedera vasa dan ductus deferens, dimana hal ini akan memperpanjang rentang funikulus
5.      sisihkan m. Oliqus Abdominis Internus dan m. Transversus Abdominis dengan retraktor ke kraniomedial
6.      diseksi funikulus spermatikus ke kranial sampai dengan lateral dari vasa epigastrika inferior
7.      bila belum cukup  panjang untuk memungkinkan testis ke skrotum tanpa tegang, vasa epigastrika inferior dipotong, sehingga funikulus spermatikus dapat digeser lebih ke medial.  Bila hal ini belum dapat panjang berarti funikulus spermatikusnya memang pendek
8.      sering kantong hernia kongenital atau prosesus vaginalis persisten menghambat mobilisasi funikulus, maka lepaskan kantong secara hati-hati dan ligasi tinggi. Bila peritoneum terbuka jahit secara atraumatik
9.      pembebasan diatas akan lebih mudah bila gubernakulum dipotong lebih dulu kemudian dilanjut dengan pembebasan testis
10.  mobilisasi lanjut ke arah retroperitoneal dilakukan dengan memotong m. obliqus abdominis internus dan m. transversus abdominis ke arah kranio lateral atau melepaskan ligamentum inguinalis
11.  kemudian vasa spermatika interna dapat dibebaskan secara retroperitoneal ke kranial sampai melewati vasa iliaka
12.  setinggi promontorium vasa akan menyilang ureter. Hati-hati dalam membebaskannya



2. Pemindahan testis ke dalam skrotum (transposisi)
Bagian skrotum yang akan ditempati testis telah kosong dan menjadi lebih kecil dibanding ukuran normal. Regangkan dinding skrotum dengan diseksi jari-jari sehingga menciptakan suatu ruangan. Traksi ditempatkan pada gubernakulum Testis yang telah bebas dan funikulus spermatikusnya cukup panjang, ditempatkan pada skrotum, bukan ditarik ke skrotum.
3. Fiksasi testis dalam skrotum
Adalah hal prinsip bahwa testis berada di skrotum bukan karena tarikan dan testis tetap berada di habitat barunya, sehingga menjadi kurang tepat bila keberadaan testis di skrotum itu karena tarikan dan fiksasi testis.
Fiksasi testis tetap diperlukan:
1.      Untuk mengikatnya tembuskan benang pada stumb ligamentum hunteri pada pole bawah testis dengan benang nonabsorpable dan meninggalkan ujung benang yang panjang
2.      perlebar skrotum dengan dua jari, dengan bantuan jarum reverdin yang ditembuskan dari kulit skrotum sisi luar dan mengambil ujung benang panjang tadi dan  keluarkan lagi jarum .
3.      Fiksasi kedua ujung benang pada sisi medial paha

II.3. Fertilitas
II.3.1. Definisi
            Seorang pria di katakan fertile jika dalam 1 tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kontrasepsi, dapat mendapatkan anak dari pasangan wanitanya. Dalam hal ini, yang di maksud dengan  fertilitas pria adalah suatu keadaan dimana seorang pria tidak mempunyai kelainan pada proses pembentukan sperma matang sampai pada proses penetrasinya ke dalam vagina untuk membuahi ovum.

II.3.2. Spermatogenesis
            Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan seksual aktif, sebagai akibat dari rangsangan hormone gonadotropin hipofisis anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup.
            Tubulus seminiferus terdiri atas sejumlah besar sel epitel germinal yang disebut spermatogonia, terletak dalam dua sampai tiga lapisan sepanjang batas luar epitel tubulus.
            Pada tahap pertama dari spermatogenesis, spermatogonia primitive berkumpul tepat di tepi membrane basal dari epitel germinativum. Pada tahap ini, spermatogonia bermigrasi kea rah sentral antara sel-sel sertoli. Membrane sel-sel sertoli ini sangat kuat berlekatan satu sama lain pada bagian dasar dan bagian sisi, membentuk suatu lapisan pertahanan yang mencegah penetrasi dari kapiler-kapiler yang mengelilingi tubulus dari molekul-molekul protein yang besar seperti immunoglobulin yang mungkin mengganggu perkembangan lanjut dari spermatogonia ke spermatozoa.
            Untuk jangka waktu rata-rata 24 hari, setiap spermatognium yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel sertoli dimodifikasi secara berangsur-ansgsur dan membesar untuk membentuk  suatu spermatosit primer yang besar. Pada akhir hari ke-24, setiap spermatosit terbagi dua menjadi spermatosit sekunder. pada tahap awal dari pembagian meiosis ini, semua DNA di dalam 46 kromosom bereplikasi. Dalam proses ini, masing-masing 46 kromosom menjadi dua kromatid yang tetap berikatan bersama pada sentromer, kedua kromatid memiliki gen-gen duplikat dari kromsom tersebut. Pada waktu ini, spermatosit pertama terbagi menjadi dua spermatosit sekunder, yang setiap pasang kromosom berpisah sehingga ke-23 kromosom yang masing-masing memiliki dua kromatid, pergi ke salah satu spermatosit sekunder. Dalam dua atau tiga hari,pembagian meiosis kedua terjadi dimana kedua kromatid dari setiap 23 kromosom berpisah pada sentromer, membentuk dua pasang 23 kromosom, satu pasang dibawa ke satu spermatid.
            Manfaat dari kedua pembagian meiosis ini adalah bahwa setiap spermatid yang akhirnya dibentuk membawa hanya 23 kromosom, memiliki hanya setengah dari gen-gen spermaogonium yang pertama. Oleh karena itu, spermatozoa yang akhirnya membuahi ovum akan menyediakan setengah dari bahan genetic ke ovum.
            ketika spermatid di bentuk pertama kali, spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang biasa dari sel-sel epiteloid, tetapi segera setelah spermatid mulai memanjang menjadi spermatozoa. Spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. kepala terdiri atas sel berinti padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan membrane  sel disekitar permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama  di bentuk dari alat golgi.

II.3.2. Diagnosis
            Fertilitas pria adalah kesuburan pria dimana ditemukan sperma yang banyak dan kualitas terbaik untuk membuahi sel telur. Beberapa criteria yang dapat di gunakan untuk mengetahui keadaan sperma seseorang adalah:
1.      Criteria makroskopis dengan abstinensi selama 3-5 hari sebelum di periksa
a.       Volume setiap kali ejakulasi sekitar 2-5 ml
b.      PH dari semen 7,3-7,7
c.       Koagulasi dan likuefaksi sekitar 5-20 menit
d.      Mempunyai daya viskositas yang tinggi (daya membenang 3-10 cm)
e.       Wujud putih abu-abu dan bau khas seperti bunga akasia
2.      Criteria mikroskopis
a.       Jumlah sperma setiap ml semen sekitar 120 juta sel
b.      Konsentrasi
c.        jenis gerakan
d.       morfologi spermatozoa.
e.       Sel-sel radang 
f.       Azoospermia
g.      Motilitas Spermatozoa
           Dari criteria di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang hubungan antara fertilitas dengan sperma yang di hasilkan pria tersebut karena seseorang dikatakan fertile jika sperma yang dihasilkan memenuhi criteria tersebut.

II.4. Pengaruh Kriptorkismus Terhadap Fertilitas
             Testis adalah kelenjar reproduksi esensial laki-laki untuk fertilitas dan untuk memproduksi sperma serta hormon testoteron dari saat pubertas sampai dewasa. Dalam perkembangan normal janin laki-laki, testis  turun dari rongga abdomen ke lokasinya di skrotum.
            Testis juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin, mengundang banyak masalah terutama mengenai infertilitas pada pria, yaitu kaitannya dengan reproduksi spermatozoa atau fungsi kelenjar asesoris yang merupakan elemen dari sistem reproduksi pria. Seperti diketahui, kelangsungan spermatogenesis maupun fungsi organ reproduksi lainnya, dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh hormon gonadotropin maupun hormon yang diproduksi oleh testis itu sendiri.
            Suatu keadaan dimana terjadi kegagalan penurunan dari testis dari rongga abdomen ke dalam skrotum yang disebut dengan kriptorkismus. Kadang-kadang, penurunan ini tidak terjadi atau terjadi tidak sempurna, sehingga salah satu atau kedua testis tetap berada dalam abdomen, dalam kanalis inguinalis atau di tempat  lain sepanjang jalur penurunannya. Kriptorkismus disebabkan oleh diferensiasi yang tidak sempurna  saat masa gestasi serta kelainan pada poros hipotalamus - hipofisis anterior - gonad yang dapat berpengaruh pada perkembangan testis serta berdampak pada pertumbuhan organ sekunder pria yang terhambat.
            Kriptorkismus merupakan suatu keadaan dimana testis tidak turun ke dalam skrotum baik salah satu atau keduanya. Testis yang tidak turun ke skrotum di akibatkan oleh hambatan sekresi testosterone pada testis  janin sehingga akan menyebabkan degenerasi epitel tubulus testis dan hanya meninggalkan struktur interstisial testis. Hal ini terjadi karena suhu testis sama dengan suhu tubuh.
            Testis yang tetap dalam rongga abdomen sepanjang hidup tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk sperma karena epitel tubulus merupakan penghasil sperma.


           












BAB III
PEMBAHASAN
           
Kriptorkismus merupakan suatu keadaan dimana organ testis tidak dapat turun ke dalam skrotum, akibatnya jika berlanjut sampai usia dewasa dapat berpengaruh pada fertilitas pria sehingga dapat mempengaruhi keadaan psikis seseorang.Penyebabnya diantaranya ialah gangguan antara germ cell . Infertilitas UDT bilateral 100%, sedang UDT unilateral 50% (2).
Dipilihnya judul pengaruh kriptorkismus pada fertilitas karena pada akhir-akhir ini terjadi peningkatan kasus yang terjadi pada bayi yang baru lahir baik dengan UDT bilateral dan unilateral  sehingga topic ini sangat menarik untuk di bahas dan di kembangkan.
Beberapa kasus UDT di Indonesia terjadi keterlambatan dalam hal diagnosis sehingga berdampak pada keterlambatan penanganan, akibatnya dapat menyebabkan infertilitas penderita. Untuk itu perlu dilakukan suatu penyuluhan tentang pentingnya pemeriksaan bayi setelah lahir agardapat menurunkan angka kejadian daripada infertilitas akibat kriptorkismus.
            Kriptorkismus dapat menyebabkan infertilitas karena gangguan pada pembentukan sperma atau gangguan pada proses spermatogenesis. Proses spermatogenesis  terjadi didalam organ testis dengan beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah struktur  anatomi dari testis yang harus berada didalam skrotum agar suhu testis lebih rendah satu sampai dua derajat lebih rendah dari suhu tubuh normal. Testis yang tetap berada dalam rongga abdomen sepanjang hidup tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk sperma. Epitel tubulus berdegenerasi, hanya meninggalkan struktur interstisial testis. Sering menjadi keluhan bahkan suhu dalam abdomen yang hanya beberapa derajat lebih tinggi dari suhu skrotum sudah cukup untuk menyebabkan degenerasi epitel tubulus dan sebagai akibatnya, timbul sterilitas. Alasan inilah yang mendasari pada keadaan kriptorkismus dapat terjadi infertilitas.
Pada kriptorkismus pascapubertas mungkin testis berukuran normal, tetapi ada defisiensi yang nyata pada komponen spermatogenik sehingga pasien menjadi infertil. Akan tetapi sel leydig tidak dipengaruhi oleh suhu tubuh dan biasanya ditemukan dalam jumlah normal pada kriptorkismus.
Sekresi testosterone oleh testis janin itu sendiri merupakan stimulus normal yang menyebabkan testis turun ke dalam skrotum dari abdomen. Pada kriptorkismus testis tidak dapat menyekresi cukup testosterone. Akibatnya terjadi hambatan pada perkembangan dan turunnya testis ke dalam skrotum sehingga penderita pada usia dewasa terjadi gangguan pertumbuhan organ seks sekundernya yang di pengaruhi oleh oleh hormone testosterone dan gangguan pada proses pembentukan sel sperma akibatnya dapat terjadi infertilitas.
 Hal ini butuh tindak lanjut untuk mencegah terjadinya infertilitas dimana peran dokter untuk diagnose dini dari kriptorkismus sangat membantu untuk penatalaksanaan terapi, baik dengan terapi bedah ataupun non bedah dengan tujuan untuk menempatkan testis ke posisnya didalam skrotum sehinga tidak terjadi hambatan pada proses pembentukan sperma dan gangguan pertumbuhan organ seks sekunder.
            Cara mudah yang dapat di lakukan pada keadaan undesensus testis yaitu dapat di lakukan pemeriksaan setelah mandi dengan air hangat, ketika kulit skrotum dalam keadaan lemas dan rileks. Testis di periksa satu persatu, testis di pegang di antara telunjuk dan ibu jari dan lakukan gerakan memutar dengan lembut sambil merasakan apakah ada benjolan pada permukaan testis. Juga di perhatikan apakah testis membesar atau tidak, mengeras atau tidak. Hal ini di lakukan agar dapat mendeteksi secara dini jika  terjadi suatu keganasan, namun biasanya kanker testis mengenai pria usia 15-35 tahun dan keadaan tidak turunnya testis ke dalam skrotum merupakan factor resiko untuk terjadinya suatu keganasan sehingga anamnesis sangat berperan untuk mendetaksi suatu keganasan.
Sebuah testis yang tidak turun setelah dua tahun bisa tidak menghasilkan sperma jika kedua testis yang tidak turun, tetapi jika salah satunya dapat turun maka sperma matang masih dapat di hasilkan.
Testis yang tidak turun pada usia dini atau setelah rangsangan hormone, memerlukan pembedahan untuk mencegah hilangnya fungsi testis dan resiko  kanker dimana usia terbaik untuk pembedahan adalah 12-18 bulan. Walaupun penyebab kriptorkismus sebagian besar tidak diketahui, terapi hormonal dianjurkan terutama terhadap kriptorkismus bilateral, lokasi testisnya di inguinal, serta tidak dijumpai kelainan anatomi dan kontra indikasi terhadap HCG.
Terapi hormonal LHRH tidak dianjurkan karena potensinya di bawah HCG, dan sediaan obat ini belum ada di Indonesia. Bervariasinya dosis dan lama pemberian HCG, diperlukan penelitian untuk menilai mana yang lebih baik.
 Terapi bedah dilakukan bila tidak ada respons dengan pengobatan hormonal, dan terjadinya obstruksi, hernia yang potensial menimbulkan obstruksi, atau dicurigai terjadinya torsi.




















BAB IV
PENUTUP

IV.1     KESIMPULAN
Kriptorkismus merupakan suatu keadaan dimana organ testis tidak dapat turun ke dalam skrotum saat lahir sampai satu atau tahun, setelah lahir baik satu atau kedua testis yang tidak turun.
Kriptorismus merupakan suatu kelainan yang terjadi pada gestasi dan penyebab pasti dari kelainan ini belum diketaui, tetapi diduga bahwa kelainan yang terjadi pada poros hipotalamus-hipofisis-gonad sehingga hormone testosterone yang berperan sebagai stimulus terhadap penurunan testis tidak terbentuk. Akibatnya pada saat pubertas terjadi kegagalan pertumbuhan organ seks sekunder pria karena kita ketahui testis berperan sebagai organ penghasil hormone testosterone. Dan testis juga merupakan organ pembentuk sperma melalui proses spermatogenesis. 
Kriptorkismus dapat diketahui dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta beberapa pemeriksaan penunjang untuk diagnose pasti.
Penanganan Kriptorkismus dapat di lakukan dengan terapi bedah ataupun non bedah dengan pemberian hormonal.
Tujuan dari penatalaksanaan kriptorkismus adalah meningkatkan fertilitas, mencegah torsio testis, mencegah/deteksi awal dari keganasan testis, mengoreksi kelainan lain yang menyertai, seperti hernia dan mengurangi resiko cedera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubikum.
           
IV.2     SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam untuk mengetahui penyebab dari kriptorkismus serta perannya dalam mempengaruhi fertilitas pria.

















 

KEPUSTAKAAN


1.      Sadler TW.Langman Embriologi Kedokteran: EGC;2002. Hlm 276-279.
2.      Elert A, Jahn K, Heidenreich A, et al. [The familial undescended testis]. Klin Padiatri. Jan 2003;215(1):40-5. 
3.      Hutson JM, Watts LM. Both gonadotropin and testosterone fail to reverse estrogen-induced cryptorchidism in fetal mice: Further evidence for nonandrogenic control of testicular descent in the fetus. Pediatr Surg Int. 1990;5:13-18.
4.      Heyns CF, Hutson JM. Historical review of theories on testicular descent. J Urol. Mar 1995;153(3 Pt 1):754-67. 
5.      Shono T, Ramm-Anderson S, Goh DW, et al. The effect of flutamide on testicular descent in rats examined by scanning electron microscopy. J Pediatr Surg. Jun 1994;29(6):839-44.
6.      Fentener van Vlissingen JM, Koch CA, Delpech B, et al. Growth and differentiation of the gubernaculum testis during testicular descent in the pig: changes in the extracellular matrix, DNA content, and hyaluronidase, beta-glucuronidase, and beta-N-acetylglucosaminidase activities. J Urol. Sep 1989;142(3):837-45. 
7.      Martin DC, Menck HR. The undescended testis: management after puberty. J Urol. Jul 1975;114(1):77-9. 
8.      Cendron M, Keating MA, Huff DS, et al. Cryptorchidism, orchiopexy and infertility: a critical long-term retrospective analysis. J Urol. Aug 1989;142(2 Pt 2):559-62; discussion 572. 
9.      Hadziselimovic F, Duckett JW, Snyder HM 3rd, et al. Omphalocele, cryptorchidism, and brain malformations. J Pediatr Surg. Sep 1987;22(9):854-6. 
a.       ; Philadelpihia 2004: 369-72.
10.  Rupp.T.J : testicular Torsion, Department of Emergency Medicine, Thomas Jefferson University, available in http://www.emedicine.com/med/topic2560.htm, Dec 13, 2006
11.  Anonym : Testicular torsion, available in http://en.wikipedia.org/wik/ Testicular_torsion, May 07, 2007
12.  Cuckow.P.M, Frank.J.D : Torsion of the testis, BJU International 2000; 86 (3) : 349
13.  Galejs.L.E, Kass.E.J : Diagnosis and Treatment of the Acute Scrotum, Am Fam Physician J 1999; 59 (4): 231-3.
14.  Minevich.E : Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric urology, available in http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm, Feb 9, 2007
15.  Ringdahl.E, Teague.L : Testicular Torsion, Am Fam Physician J 2006 ; 74 (10): 214-9.
16.  Reynard.J : Torsion of the testis and testicular appendages. In: Reynard.J, Brewster.S, Biers.S (eds), Oxford Handbook of Urology, Oxford University Press, New York 2006: 452
17.  Grechi. G, Li Marzi.V :Torsion of the Testicle. In: Graham.S.D (ed), Glenn’s Urologic Surgery, Fifth ed, Lippincot-Raven, Philadelphia 1998 : 535-8
18.  Leape.L.L : Testicular Torsion. In : Ashcraft.K.W (ed), Pediatric Urology, W.B. Saunders Company; Philadelphia 1990: 429-36
19.  Anonym : Urologic Emergencies, available in http://www.urologychannel.com/ emergencies/torsion.shtml,
20.  Ahmad.SN, Nisar C, Parray.FQ, Wani.RA : Torsion of undescended testis, Ind J of Surg 2006 ; 68 (02): 106-7.
21.  Allan.W.R, Brown.R.B : Torsion of the Testis, Brit Med J 1966 ; 1: 1396-7.
22.  Kadish.H.A, Bolte.R.G : A Retrospective Review of Pediatric Patient With Epididymitis, Testicular Torsion, and Torsion of Testicular Appendages, J of Am Acad of Ped 1998 ; 102 (1): 73-6.
23.  Muttarak.M : Clinics in Diagnostic Imaging, Singapore Med J 1999 ; 40 (01): 43-5.
24.  Beasley.S.W, McBride.C.A : The risk of metachronus (asynchronous) contralateral torsion following perinatal torsion, NZM J 2005 ; 118 (1218)
25.  Clark. P : On the Testicle. In Clark.P (ed), Operation in Urology, Churchill Livingstone, New York 1985 : 123-34
26.  Kaplan. G.W, Silber.I : Neonatal Torsion-To Pex or Not?. In King.L.R (ed), Urologic Surgery in Neonatus & Young Infants, W.B.Saunders Company, Philadelphia 1988 : 386-95
27.  Boddy. A.M, Madden.N.P : Testicular Torsion. In Whitfield.H.N (ed), Rob&Smith Operative Surgery: Genitourinary Surgery, Vol 2, Operation in Urology, Churchill Fifth ed, Butterworth-Heinemann, London 1993: 741-3
28.  Anonym : Testicular torsion Health Article, available in http://www.healthline.com/adamcontent/ testicular_torsion, Oct 20, 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar